Jumat, 25 Oktober 2013

cerpen saya


Papa
Hari ini tepat dua tahun papa telah pergi meninggalkan kami.  Aku membersihkan beberapa helai daun yang berserakan di  atas pemakaman papa. Kucabuti rumput liar yang tumbuh di atas makam, sembari membersihkan makam terlintas di pikiranku tentang penyesalan dan rasa bersalah yang terjadi dua tahun silam.
            Selasa, 31 Agustus 2011 waktu menunjukan pukul 06.00, suara takbiran terdengar dari rumahku yang memang letaknya tak jauh dari masjid, hari itu suasana lebaran hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua umat islam karena telah melewati selama 30 hari berpuasa.
Namun tidak bagiku, aku masih saja duduk disudut kamarku sambil mengamati ganggang telepon yang masih belum berbunyi, aku menantikan kabar dari pihak rumah sakit, menantikan kabar papa yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Aku tak tahu mengapa papa bisa mengidap penyakit stroke yang akut, sebelum dibawa kerumah sakit ku lihat papa masih terlihat sehat, bahkan masih sempat untuk bermain badminton denganku sore itu. Ya, badminton merupakan salah satu olahraga kegemaran papa, setiap sore papa selalu mengajakku untuk bermain badminton.
Menjelang sore, aku dikagetkan oleh suara telepon yang berbunyi dari dalam kamarku, aku langsung tersentak dan berlari menuju kamar.
“Bissmilahirrahmanirahim”  akupun langsung mengangkat ganggang telepon dengan perasaan gelisah, takut, bercampur menjadi satu.
“Assalamu’alaikum” terdengar suara seorang laki-laki yang tak lain adalah kakakku.
“kak, Bagaimana keadaan papa?” tanyaku.
“papa kita sudah meninggal dik!”
Aku tersentak! Aku terdiam sejenak seolah tidak percaya bahwa papa telah pergi, beberapa butir air mata mengalir di pipiku, aku tak kuasa menahan kesedihanku, aku menangis tersedu-sedu, pandanganku kabur, bahuku terguncang, kenyataan bahwa papa telah benar-benar pergi membuatku bukan hanya merasa tinggal seorang diri di dunia ini, tapi juga kurasakan hidupku seperti tak berarti lagi, batinku hampa tanpa pegangan.
            Satu jam kemudian mobil jenazah yang mengantarkan papa tiba di rumah, dari mobil itu terdengar isakan tangis seorang wanita yang tak lain adalah mama.
Aku melihat mama yang keluar dari mobil dengan dua orang kakakku yang memegang lengan mama dari samping khawatir mama akan jatuh karena kondisinya yang sangat lemah saat itu. Aku berlari menghampiri mama dan kami saling berpelukan tak kuasa menahan tangis atas kepergian papa. Kurasakan tangan mama yang memelukku erat, isakan tangis mama yang membuatku semakin pilu .
            Dari sudut ruangan, aku terdiam memandangi jasad papa yang dibaringkan di tengah ruangan, air mataku telah berhenti mengalir, aku tak tahu berapa banyak air mataku yang telah ku keluarkan hari ini. Kurasakan tangan kakak memegang bahuku dan berkata “sabar dik, papa sudah tenang disana, do’akan saja papa disana”.  Aku menghampiri jasad papa dan duduk di sisinya, ku singkap kain yang menutupi wajahnya, untuk yang terakhir kalinya, ku cium kening papa,
“selamat jalan papa, tidurlah dengan tenang di sana, aku akan selalu mengenang dan mendo’akanmu”.